Pages

Thursday, January 28, 2010

Saya Paling Benci…

…dengan laki-laki yang menilai semuanya berdasarkan materi. Ya! Saya cukup tegas untuk bisa berkata saya benci dengan laki-laki yang judgemental. Saya benci jika mendengar laki-laki berkata, “Perempuan yang kemarin sempat jadian sama saya hanya mengincar duit saya saja, biasalah, minta dibelikan ini-itu. Alat make up, handphone dan lain-lain. Biasalah perempuan, dimana-mana sih cuman bisa minta-minta”

Hey! Bagaimana kalau saya bilang, “Kenapa ya, kamu kok gak pinter banget? Masa iya mau dikadalin sama kadal? Masa iya, mau aja bela-beli ina-inu buat orang yang gak jelas kejuntrungannya? Masa iya kamu segitu gak bisa menilai perangai seseorang? Kenapa juga kamu jadi mengeneralisir perempuan? Kalau dikeluarga kamu seperti itu, bukan berarti orang-orang lain di luar sana sama seperti keluarga kamu!”
Sakit hatikah pria-pria ini?

I don’t think so


Saya juga benci dengan laki-laki yang berpikiran, “Well, saya sekarang sudah naik jabatan. Dengan status baru ini saya akan mendapatkan semua perempuan yang saya mau. Saya cukup keren untuk menjadi “tentengan” untuk dipamerkan kepada teman-teman mereka. Saya hebat, saya jenius, saya saya saya…”

Yak! Cukup sampai disitu, bagaimana jika saya bilang, “So what dengan status baru kamu? Coba beli kaca yang besar, dan mulai memperhatikan diri. Pandang lekat-lekat wajah kamu, apakah kamu layak mendapat semuanya? Jangan-jangan banyak noda hitam yang nempel dimuka kamu tanpa kamu sadari. Ya! Noda hitam, noda hitam cerminan hati yang hitam dan pikiran yang sempit. Coba periksa kembali, apakah kamu memang cukup kece untuk dipamerkan? Dan yang paling penting, sadar gak sih SIAPA KAMU?”

Hahaha…maaf ya teman-teman yang gender nya laki-laki. Saya memang sinis, saya memang kurang ajar, saya memang sok tahu, dan saya sudah siap di cela. Dan…”I’m so ready being public enemy”

Maaf saya hanya mau menyindir mas-mas di busway tadi sore yang gayanya sejuta. Sayang, saya tidak tahu namanya, nomer tlpnya, alamat fb nya bahkan pin BB nya. Jadi, saya cuman bisa misuh-misuh disini. Saya cuman mau bilang kaki saya tadi sore sakit banget tau, kamu injek! Dan saya cukup pusing dengerin curhatan kamu sama sohibmu yang sama aneh wujudnya kayak kamu itu, dan saya mau jackpot berdiri disebelah kamu!!! Hueeekkk buaaauuu….

Rasa Coklat

Menjelang bulan Februari, dengan begitu banyak “drama” masalah percintaan disekeliling saya (dan telah saya lewati dengan sukses tahun lalu, hiks) saya melihat cinta dengan kacamata yang berbeda. Bahwa ungkapan “tahi kucing rasa coklat” itu memang ternyata berlaku bagi orang-orang yang sedang di mabuk asmara.
Saya mungkin pernah menjadi salah satu korbannya. Dengan optimis dan (sok) yakin, menjalani sebuah hubungan jarak jauh. Saking jauhnya terkadang saya sering kali ingin berteriak dan mendadak ingin bisa transporter seperti Harry Potter. Anyway, saya tidak akan membahas soal saya, dan sepertinya sudah cukup drama yang saya buat dengan nya (hai kamu, kalo kamu baca tulisan ini, I actually **** u there, hihi *centil mode on).

Mengingat bulan Februari setiap tanggal 14 banyak orang yang merayakan Val’s day, saya hanya ingin sedikit cerita, bukan bermaksud nyinyir, hanya mencoba mengungkapkan sebuah pikiran kecil yang mengganggu.

Tahun lalu, saya melakukan sebuah perdebatan seru dengan seorang teman (hm, mungkin lebih cocok disebut, frienemy: friend and enemy). Si teman saya yang memang jalur pikirannya “luar biasa” dari orang-orang kebanyakan ini bersabda: “sebenarnya rasa cinta itu semua adalah manipulasi, itu cuman sugesti tingkat tinggi”.

Saya, yang memang dasarnya tidak percaya adanya sesuatu yang tulus (well, jalur pikiran saya juga cukup “luar biasa”, no wonder saya bisa akrab sama si teman saya ini ya, hahaha), mengamini sabda teman saya.

Menurut saya:
“Masalahnya adalah ada orang yang mau melihat cinta dengan kacatama logika dan tidak. Ketika lu bilang bahwa itu adalah sugesti, ya memang itu adanya. Dan sugesti itu yang membuat istilah tahi kucing rasa coklat itu hadir di dunia ini”.
Sugesti itu yang(pernah) membuat saya susah bobok dan gak enak makan (halah, lebay banget deh). Mendengar suaranya saja sudah membuat jantung seperti naik jet coaster, apalagi jika tak sengaja bersentuhan? (akan saya buat menjadi sengaja, hehe). Kalau dipikir-pikir mungkin ya, apakah kita bisa hidup dengan si cinta itu?

Jawabannya bisa ya bisa tidak. Sampai kapan sugesti ini akan bertahan? Cukup lama pastinya. Cukup lama sampai suatu hari si korban menyadari bahwa pasangannya adalah mahluk tidak setia, cukup lama sampai suatu hari si korban menyadari bahwa pasangannya adalah mahluk matre yang tak terkendali, atau hanya mengejar status, atau hanya ingin “memanas-manasi” pasangan yang sebenarnya dan lain-lain. Namun, menurut pendapat saya dan teori saya yang (lagi-lagi) sok tahu ini, jika tidak ada hal-hal yang negative menghampiri, maka tahi kucing rasa coklat itu akan berlaku hingga akhir hayat. Ini mungkin yang terjadi dengan mba Cinderella, dan Sleeping Beauty ya, hehehe.

Apakah benar, seseorang menikah karena cinta? Bukan karena logika? Bukan karena harta? Bukan karena status di masyarakat? Bukan karena bibit, bebet, bobot? Bukan karena….banyak pastinya.

Teman saya bertanya:
“Nah, sekarang gini deh, menurut lu masih ada emang orang yang nikah karena cinta? Kayak yang di film-film teenager dan roman picisan gak mutu yang sering lu tonton itu, heh?”

Saya dengan yakin:
“Well, yah sebenernya sih gw juga sangsi ya. Kalo gw sih (sepertinya) tidak akan begitu. Menyatir kata-kata nyokap gw witing tresno jalaran soko sembrono. Tapi pasti diluar sana,masih banyak yang tidak sinis seperti gue (dan elu). ”, ujar saya sedikit memberi filosofi yang (sok) njaweni, hehe.

Ibu saya tidak percaya bahwa cinta datang karena terbiasa (witing tresno jalaran soko kulino). Ibu saya kerap kali meyakinkan saya, “Cinta itu (sering) datang karena kita sembrono, non”.

Dan hingga detik ini saya hanya bisa bilang “tahi kucing rasa coklat” itu rasanya (ternyata) enak loh!, hehe