Pages

Friday, December 4, 2009

The Student Part 1

Satu hal yang membuat saya senang belakangan ini adalah soal perubahan status. Saya tidak lagi menyandang sebutan "mahasiswa". Saya sudah resmi menjadi sarjana komunikasi, yang dengan bangga saya persembahkan untuk kedua orang tua dan keluarga besar Bangsa Dewa (hm, yah The Hardjosoemarto sepertinya juga turut ambil bagian sebenarnya).

Berhubung hampir dua tahun terakhir ini saya habiskan menjadi asisten dosen di sela-sela kesibukan menjadi jurnalis full time disebuah majalah, saya mendapatkan sekaligus dua pengalaman berbeda. Baiklah, jika bicara soal profesi jurnalis sepertinya sudah umum ya. Mungkin saya akan share dikemudian hari.

Saat ini berhubung saya sudah berganti status dan kebetulan memiliki minat besar untuk melanjutkan perjuangan "mencerdaskan anak bangsa", maka saya sedang seru-serunya "magang" sebagai dosen.

Saya senang berada di depan kelas dan membagi sesuatu yang saya punya. Hanya saja belakangan saya merasa, selain mendalami fotografi, sebaiknya saya mulai belajar ilmu psikologi. Dengan kemampuan membaca bahasa tubuh yang saya dapatkan ketika membaca bahan skripsi karya Alan Pease, saya pun dapat menyimpulkan beberapa kategori mahasiswa. Oh, selain itu, maaf jika pengamatan saya kurang scientific, maklum saya ini psikolog wanna be yang kelewat sok tahu. Berikut adalah daftar kategorinya:
1. Smart People
Biasanya duduk di barisan nomor satu atau dua dari depan. Selalu datang tepat waktu dan jarang sekali absen, kecuali sedang sakit. Selalu membuat catatan-catatan kecil di dalam bindernya, dari materi pelajaran hingga quotes dari sang dosen yang kadang-kadang sedikit menyelipkan kata-kata motivasi. Binder-nya sendiri juga merupakan bagian dari identitas diri. Ada yang kreatif membuatnya seolah-olah scrappbook, ada yang menghiasi dengan foto-foto orang-orang tersayangnya, bahkan banyak juga ternyata yang memajang foto telanjang dada artis KoreaRAIN (astaga dragoon) dan asian idol lainnya. Mereka biasanya kritis dalam menyikapi kuliah yang diberikan.

2. Telaters
Ini adalah orang-orang yang sering kalau tidak selalu datang telat di tiap sesi. Alasannya beragam, dari ban motor kempes, ketiduran di kereta, hingga alasan klise seperti macet dan telat bangun. Biasanya mereka juga tidak hanya telat dalam menghadiri kelas, namun juga cukup "telat" untuk mencerna pelajaran. Tampilan luarnya mungkin menarik, namun jangan tertipu kawan, mereka adalah orang-orang yang "sulit".

3. The Kepo
Kepo artinya adalah sok mau tahu. Paling tidak setiap kelas dan setiap angkatan punya satu dari jenis ini. Mereka merasa sangat dekat dengan sang dosen atau asisten dosen, merasa tiga langkah lebih pintar dan sering melontarkan ucapan-ucapan yang membuat satu kelas ingin melayangkan bangku atau laptop mereka. Biasanya jenis ini terkenal dengan sikap menjilat tingkat dewa (meminjam istilah teman kantor saya Arletha). Tak jarang mahasiswa dari kategori ini bersikap tidak sopan kepada dosen maupun asisten dosen, sikap sok tahunya kerap kali mengganggu baik di waktu kuliah maupun diluarnya.

4. The Businessman
Orang-orang ini mungkin memiliki naluri dan bakat yang hebat dalam berdagang. Selalu membawa barang dagangan setiap hari dari mulai sarapan, hingga handphone. Mahasiswa seperti ini biasanya cukup aktif dan smart. Mereka benar-benar bisa memanfaatkan peluang dan kemungkinan besar akan menjadi sukses dengan keuletannya. Biasanya sih para mahasiswa dari etnis tionghoa dan padang yang sering terlihat menunjukkan bakat-bakat ini, hihi.

5 . The Rock n Roll
Sebenarnya ini adalah julukan bagi mereka yang sering mengulang kelas, dikampus saya disebut dengan cross enroll. Biasanya adalah para veteran yang karena masalah absen atau nilai yang benar-benar parah, maka mereka harus mengulang. Mereka biasanya kerap kembali ke jurang yang sama, jarang masuk, mengerjakan tugas tidak maksimal atau menyerahkan tugas melewati deadline. Biasanya terlihat agak menyendiri dari teman-teman sekelasnya, atau membentuk kelompok duduk sendiri dengan orang-orang yang senasib dan sepenanggungan.

6. The Beauty and The Brainless
Jenis ini entah kenapa belakangan sedang marak. Saya tidak yakin apakah ini tren atau memang sistem rekruitmen yang perlu diperbaiki lagi. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang terlahir beauty, namun tidak memiliki kapasitas akademis seperti wujudnya secara fisik. Saya sempat berteori bahwa mereka mungkin saja kuliah hanya untuk sekedar mengisi "waktu luang". Mereka berusaha untuk terlihat fashionable, namun kebanyakan malah berkakhir menjadi fashion victim. Sering mengobrol, satu-satunya berita ter update yang mereka tahu adalah bahwa sahabatnya sedang BT karena memergoki pacarnya selingkuh. Tentu saja itu adalah hasil dari penelusuran tekun dari facebook dan twitter. Sering merasa tidak punya waktu untuk melakukan riset via google dengan blackberry di tangan. Bahkan saya curiga mereka tidak tahu bagaimana caranya googling (OH MY GOD!)

Berbicara dengan tipe seperti ini dibutuhkan 1 ton kesabaran dan 2500 kg toleransi.

Sekian perkembangan mahasiswa di tahun 2009. Semoga di tahun 2010, saya diberi kesabaran yang lebih dan dikelilingi dengan mahasiswa yang cukup "niat" untuk menjadi sukses.

Wednesday, November 11, 2009

Be or Not To Be

Being married or not at all!

Sebuah kata-kata klise, life is all about choices, tidak pernah ada matinya. Teman saya, Flo, punya cara lebih oke untuk mendeskripsikan betapa hebatnya kata-kata itu: JUARRRAA!.

Siang hari yang lumayan terik tadi, saya berjumpa dengan Devy, seorang sohib yang sempat berbarengan sejak saya masih lugu dan culun di awal-awal kuliah (well, sekarang si culun ini masih lugu sih, tapi sudah bisa menerima realita hidup). Devy dan saya punya satu wish yang sampai saya menyandang gelar S.Si dalam beberapa hari ini, masih belum kesampaian. Kami sangat ingin bertandang ke negeri Cina. Kenapa? Karena kami terhipnotis dengan bahasanya.

Terlepas dari semua huruf kanjinya yang seperti cacing, dan logat yang seperti marah-marah, bahasa Cina merupakan sebuah rangkuman budaya dan sejarah yang dikemas dengan bumbu-bumbu sastra. Anyway, pembicaraan pun mulai bergulir kearah yang lebih serius. Biasalah, baru lulus jadi mahasiswa, jadi pembicaraannya seputar dunia kerja dan info lowongan kerja. Tiba-tiba si Devy membuka topik baru, "Lu tau gak sih, si anu (hm, saya lupa namanya siapa, saya juga gak kenal sebenernya) kan mau married?", ujar Devy sangat bersemangat.

Saya yang memang dasarnya tidak kenal sama si anu itu, dan masih penasaran dengan es batu di teh manis yang saya seruput dari awal pembicaraan, hanya menggeleng kecil. Si Devy masih belum mau pindah topik, "Gile ya, gw jadi takuut banget mikirin married des. Lu tau ga sih, 8 dari 10 orang yang married itu selingkuh. Gw rasa gw gak akan bisa maapin suami gw nanti kalo dia sampe selingkuh, bisa ill-fill parah gw nanti deh", cerocos si Devy tambah berapi-api.

Saya yang masiih sembari mencoba mengulum es batu daritadi, mendadak bingung. "Hah? Itu penelitian hipotesisnya apa, valid ga tuh? pake berapa variable? Kuanti kan lo? Ayo jelasin ke gw deh", jawab saya mulai ngawur, maklum aura-aura dikejar-kejar sama skripsi masih berasa dihati ini,walaupun sebenarnya saya kualitatif yang sangat kritis. Devy mulai sewot dan mencoba membuka mata sipitnya lebar-lebar, maksudnya mau melotot tapi tidak begitu sukses hasilnya, hihi.

"Idih, lu kok jadi paranoid sih Dev, jalani saja hidup ini dulu. Pelan-pelan aja, dan memang pada akhirnya kita mesti pasrah sama Tuhan juga sih", ucap saya berusaha tetap kalem. "Lagian itu hasil riset darimana sih? Orang selingkuh pasti ada sebab Dev. Semua ada sebabnya, jadi ga bisa di generalisir gitu dong. Makanya lu jadi parno sendiri kalo gitu", lanjut saya.

"Iya, gw ngerti Des, tapi itu yaa gw sih belum siap deh disuruh nikah buru-buru. Kalo calon suami gw udah mapan sih ga masalah deh, kalo masih kayak anak-anak, idiih", Devy kembali gemes.

"Nah, sekarang gw tanya deh, yang nyuruh elu buru-buru nikah siapa emangnyaa coba? Ga ada kan?? Deuiilee, calonnya aja dulu Deev, huahahhaa", seloroh saya antara geli dan kesel.

Si Devy akhirnya tersadar, "Iya ya, gw kok bego banget sih, calonnya aja dulu yaa Des, baru lu mikir nikah. Calonnya gak ada sih mau nikah sama siapa coba?".

Nah, ini dia masalah yang sampe sekarang kalau saya ditanya saya masih bungkam seribu bahasa, soal pernikahan dan calon-calon. Saya belum berpengalaman sih dengan pernikahan, kalau pun ada biasanya jadi pager ayu atau penerima tamu. Akhirnya dengan nada menyesal, saya menyarankan Devy untuk berkonsultasi dengan sohib lain yang sudah menikah dan punya satu momongan.

Sepertinya si Devy mulai capek dan menerima saran saya dengan senang hati.

Sunday, September 27, 2009

Nikita Willy dan Tante-tante umur 30-an

Sebelumnya, "kulo nyuwun pangapuro, nggih mbak yu.."

Bagi para perempuan yang umurnya sudah hampir menginjak 30 atau sudah diantara 30 something. Bukan bermaksud menyindir soal umur, lha wong saya ini juga kan perempuan, omong-omong soal umur memang sering membuat senewen, hehehe.

Ada beberapa alasan mengapa dari dulu saya tidak kepingin untuk ikutan bekerja di industri media TV, production house yang memproduksi sinetron dan infotainment khususnya. Idealisme saya lumayan alot (keras) dalam sisi "mencerdaskan kehidupan bangsa". Yah, walaupun pekerjaan saya sekarang ini juga bisa dikatakan bagian dari komplotan "pembodohan massa", tapi setidaknya, yang saya kerjakan bersifat verbal. Tulisan. Hahaha, ngeles sih memang.

Beberapa hari terakhir ini saya merasa tergugah dengan salah satu stasiun TV, yang sepertinya pemasukan nomer satunya adalah dari sinetron-sinetron berseri panjang itu. Disanalah saya melihat sosok nikita willy. Kalau si mba shanti ga bilang, "dek, tau ga sih, si nikita willy itu kan umurnya masih 15 taunan gitu". Saya benar-benar terkejut! Saya pikir dia seumuran dengan saya, yah at least 20 years old!.

Masih dengan memegang erat stoppless berisi kue sagu mocca, dengan wajah bingung dan mata yang sok dilebar-lebarkan (yaah, mau bagaimana lagi, saya memang sipiit, hhh), saya sedikit menjerit, "'Bo'ong lo mbak! Gak mungkin! Dia kan seumuran sama aku!" masih dengan pd jaya saya berseloroh.

Si mbak Shanti yang sepertinya, gemes melihat ekspresi saya langsung menyodorkan tabloid gosip terbaru. Dibukalah lembaran-lembaran itu, dan berkatalah Ia, "Tuh baca tuh! Ga percaya banget sih!". Masih dengan mata nanar dan mulut penuh dengan kue sagu, saya hanya bisa pasrah sembari manggut-manggut keheranan.

Dipikir-pikir si niky (hihihi maaf ya mbak nikita willy, saya sok akribs) ini memang kelewat bermuka boros sepertinya. Gaya-nya sangat meyakinkan dia seumuran dengan saya bahkan lebih tua! Heran deh disaat perempuan berlomba-lomba tampil awet muda diusia menjelang 30-an, si niky malah dengan rela menjadi kelihatan tua 5 tahun daripada umur aslinya.

Beberapa sepupu saya, kebetulan lahir di tahun akhir70-an atau awal 80-an. Kebanyakan dari mereka sudah punya buntut paling tidak satu momongan lah. Hm, tapi tidak satu pun dari mereka happy dipanggil tante. "Berasa tuaa banget gitu deh. Kalo bukan keluarga yang manggil, gw bisa sewot seharian tuh!", begitu pengakuan salah satu sepupu yang tahun ini usianya genap 30.

Lalu, saya jadi terheran-heran. Jika si niky diumurnya yang belum 17 tahun sudah berlagak seperti tante-tante, bagaimana nasibnya nanti jika memang sudah benar-benar dewasa? Ini sebenarnya salah ibu si artis yang kelewat oportunis (bravo!) atau memang abg-abg ini berwajah boros?

Huaduh, jangan-jangan saya termasuk abg yang boros nih?! Sepertinya iya, berat badan saya sepertinya kelewat boros hahhaha....

Saturday, September 26, 2009

Selamat Datang Deadline Baru!

Tiba-tiba saya tersadar, besok tanggal 28 September. Gak ada yang terlalu spesial di tanggal itu, hanya saja besok hari pertama masuk kerja. Which is bagi saya adalah hari pertama cobaan baru setelah bulan puasa.

Apalagi selain pertarungan abadi menembus jutaan umat berkendara yang bertarung di jalan tol cikampek-jakarta?!. Belom lagi para mudikers bikers itu juga pasti sudah mulai kembali menjadi bikers ugal-ugalan, hhh....

Jika tulisan ini saya lanjutkan, sepertinya dalam 30 menit saja, saya sudah bisa membuat 3 halaman penuh daftar keluhan hidup, hahaha....Well, enough!Tiba-tiba teringat, begitu masuk nanti sudah deadline edisi selanjutnya, hm kalo gak salah sih, yaah edisi 18 ahhaha saya saja sampai lupa. Temanya "Art". Tidak begitu berpengaruh dengan artikel tentang pekerjaan yang harus saya tulis.

Gak nyambung sama sekali. Kemarin, sebelum rapat redaksi lumayan kepikiran menyambungkan kata art itu sendiri dengan sebuah jargon di dunia kerja. Marketing mungkin, atau leadership, atau...well, hhhh...apapunlah. Tapi setelah berdiam diri, mendengarkan cerita-cerita di ruang dosen, saya kepikiran mencari hubungan antara keluarga dan karir.

Jadi, dengan yakin saya berkata kepada project manager edisi ini, "Mba gadis, aku mau nulis family vs career ya buat artikel YC ku". Disambut dengan cengiran mantab dari si project manager, yang kebetulan juga sudah stuck dengan beberapa hal.

Nah, sekarang matahari sudah turun, saya masih belum melanjutkan tulisan itu. Kemarin, dengan semangat 45, secara malem minggu kali ini dengan suksesnya home alone, saya sempat membuat teaser artikel. Begitu cantik dan bersemangat isinya. Lagi-lagi saya sedang diberikan ujian oleh Tuhan, teaser ciamik dan menggugah itu pun saya close dari jendela microsoft word tanpa ba..bi..bu...dan tanpa menekan kotak save!

Duduk kembali menekuri layar laptop yang naujubilah gedenya ini (yah, agak norak sih, biasanya mata saya hanya terpaku di 8,9" saja) tampaknya tidak memberikan efek positif apapun. Malahan sekarang saya bingung, apa yang bisa dihubungkan dan diceritakan antara keluarga dan karir.

Jadi, apa ya masalahnya keluarga vs karir?? Anyone?? Hhh

Friday, September 25, 2009

The Writer

Yes I'm a writer. Well, hingga saat ini hal-hal yang saya kerjakan adalah tak jauh dari menulis dua halaman rubrik tentang pekerjaan, berita lifestyle (yang bukan tak lain dan tak bukan adalah acara launching produk, serta konser-konser musik), rubrik zodiac ( ini untuk sementara, kebetulan mbak editor bahasa lagi sibuk belakangan), sedikit teaser dan daftar harga barang di rubrik barang-barang pilihan redaksi dan masih banyak lagi.

Belakangan ini saya teringat dengan jaman SD dulu, ketika rambut ini masih panjang dan Ibunda sering mengepangnya menjadi dua. Dari semua pelajaran yang diajarkan, saya hanya tertarik dengan tiga diantaranya, yaitu bahasa Indonesia (lebih ke mengarang), bahasa inggris, dan IPS. Bukannya saya benci matematika, yah pelajaran yang satu ini selalu membuat saya tertantang, tapi sensasinya berbeda ketika saya mengerjakan semua tugas mengarang.

Entah saya ini terlalu detail atau memang daya imaji yang kadang berlebihan, tapi saya paling suka diberi kebebasan bertutur baik dengan tulisan dan perkataan hahaha. Ingatkah Anda ketika diberi tugas mengarang dalam pelajaran bahasa, kata apa yang selalu menjadi awalan karangan apik, satu lembar folio itu? Kebanyakan orang akan menulis seperti ini:

"Pada suatu hari…" atau jika itu bahasa inggris maka akan diterjemahkan menjadi "Once upon a time…."

Klise dan monoton. Tidak berlaku bagi saya, selalu mengindari kalimat-kalimat itu. Mungkin bagi Anda yang gemar menulis juga, pasti memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Saya mendadak rindu dengan romantisme ulangan umum jaman masih SD dulu. Dimana para siswa-siswi akan diberikan tugas mengarang di akhir soal, yang diwakili dengan 4 gambar yang berkesinambungan. Saya terus terang suka dengan soal ini. Jawabannya terserah. Terserah masing-masing orang akan berimaji seperti apa dan akan menulis apa. Saya suka membaca hasil akhir teman-teman sekelas dan membandingkan dengan karya saya. Hhhh…jaman sd…


 

Monday, September 7, 2009

aksi=reaksi

“Sebuah aksi akan menciptakan reaksi” dikutip dari Ary Ginanjar of ESQ

Well, saya bukan orang yang religius, I would like say that. Tapi saya cukup spiritual. Saya percaya adanya Tuhan, surga, neraka dan semua nabi serta malaikat-Nya. Bagi saya agama adalah sebuah sugesti. Sugesti tingkat tinggi tentunya. Agama itu perlu, agar manusia punya pegangan secara mental dan batin. 

Dengan sugesti manusia menjadi lebih yakin dan karena itulah agama sering kali disebut keyakinan. Manusia butuh pembenaran, sekaligus butuh aturan-aturan. Dikatakan aturan jika sesuatu itu memiliki batas, dan sesuatu yang dibatasi tidak nikmat adanya. Akan tetapi aturan tersebut ternyata memang diperlukan manusia, untuk mengingatkan bahwa manusia adalah homo sapien. Mahluk sosial yang tidak bisa berdiri sendiri. Homo sapien bagi saya memiliki arti lebih dari sekedar mahluk sosial. Manusia tidak baik jika menjadi pribadi yang egois. Mengapa? Karena manusia mahluk sosial yang hidupnya pasti akan menyangkut hidup orang lain. Jika salah satu manusia itu egois maka temannya pasti akan mendapatkan dampaknya (baik atau buruk) dan begitu juga sebaliknya. 

Agama dan logika adalah dua hal yang tidak dapat disandingkan dengan serasi. Logika ada sebelum agama dan agama pun ada sebelum logika. Namun, ada kalanya pembicaraan agama tidak dapat dikaitkan dengan logika matematika. Maka jangan heran, jika banyak professor cerdas diluar sana yang pada akhirnya memilih untuk tidak memeluk agama apa pun. Mereka bukannya tidak punya keyakinan, tentu mereka punya. Tapi mereka memilih untuk tidak yakin dengan sesuatu yang tak kasat mata, sesuatu yang diawang-awang dan tidak dapat dibuktikan dengan teori-teori dan analisa. 

Hidup adalah pilihan, dan semua mahluk hidup bebas memilih jalannya masing-masing. Hanya saja dengan akal pikiran (brainware, ahahhaa I always say that) yang dikaruniai Tuhan (apa pun sebutan Anda), sudah sepantasnya manusia bisa melihat mana yang benar dan yang salah. Menurut hemat saya tidak ada yang mutlak di dunia ini selain Tuhan, semua jawaban benar dan salah adalah relatif. Tergantung dari sudut pandang siapa yang mengatakan. Lagi-lagi ini berkaitan dengan logika. Semakin banyak manusia itu belajar (tidak harus melalui pendidikan formal) dan melihat dunia, semakin banyak mereka memiliki referensi dalam bertindak. 

I would like to say think before act and always sure your act is definitely right


-just an opinion from an ordinary young adult-


Friday, August 14, 2009








from three days international music concert held in Jakarta-Indonesia : Java Rockinland 2009
this event was held in Carnival Beach-Ancol-Jakarta

enjoy my shot!

Sunday, June 28, 2009

Sarjana Palsu

Saya sedang menyusun skripsi. Dalam beberapa bulan kedepan, saya akan maju untuk sidang skripsi dan kemudian selesailah pertarungan di tingkat strata satu ini. Pertarungan yang belum pasti hasilnya menang atau kalah, tapi saya selalu optimis saya adalah pemenang. The winner takes it all: ijazah, tanda tangan dari dosen pembimbing, wisuda dan kebahagian yang tak terperi. 

Detik-detik menjelang pertarungan akhir ini, saya jadi merasa terbebani. Mungkin cuma saya sih yang merasa, teman-teman seperjuangan saya toh tak begitu peduli. Jika lulus nanti saya akan menjadi sarjana di bidang komunikasi. Which is means, kalo semisal saya bertandang ke rumah nenek saya di kampung, dan si nenek dengan bangga bercerita dengan sohib-sohibnya, saya akan mendengar pernyataan yang kira-kira begini bunyinya, ”Waah ndhuk, sokoor-sokooor...wis dadi sarjana komunikasi. Komunikasi-nya mesti jago banget yaa...” 

Well, bilang saya lebay, memang banyak yang suka bilang saya begitu. Tapi imajinasi saya ini mungkin saja terjadi. Mungkin dengan konteks yang berbeda. Intinya adalah saya selalu merasa orang lain mengharapkan lebih dari seorang sarjana. 

Misalnya saya, selalu menganggap kakak saya yang sarjana sistem informatika adalah perempuan yang techie dan kakak laki-laki saya yang gelar sarjananya di bidang administrasi negara adalah seorang yang penuh birokrasi. Ini yang menjadi beban. Ibarat seorang penyanyi dangdut yang sedang sakit flu tulang, tidak bisa bernyanyi dan bergoyang dengan aduhai bagi penggemar setianya.

Khawatir ketika nanti saya di tanya apa artinya ”wagu” dan mengapa koran Kompas menggunakan istilah itu di artikelnya saya tidak mengerti jawabannya. 

Kata itu saya temukan ketika membaca artikel tentang Lady Gaga di Kompas hari minggu. Judul lagunya Sexy Uggly, di artikan menjadi ”sexy wagu”. Kata yang belum pernah saya baca dan dengar sebelumnya, bahkan saya tidak tahu kalau itu ada di kamus bahasa Indonesia. 

Belum lagi kata yang spelling nya susah dan melafalkannya bisa membuat lidah agak-agak pegal. Seperti kata ”mengejewantahkan”. Nah lho! Saya khawatir akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dimana kebanyakan sarjana komunikasi yang tidak kompeten di bidangnya. Tadi contoh pertanyaan yang saya ajukan mungkin kesannya intelek. Paling parah adalah pengalaman saya ketika menyapa seorang senior yang sudah menjadi sarjana komunikasi dan bertanya yang hal dasar, ”sebenarnya apa sih komunikasi itu?” dan jawabnya hanya sederhana, ”yaa..elu ngomong itulah komunikasi, gitu deh, gitu aja pake nanya”

Dasar sarjana palsu! 

Friday, June 19, 2009

Petitehistories.com











Mereka adalah ACCROCAP

Lima orang yang tergabung dalam sebuah kelompok tari asal Perancis

Mereka membawakan tari hip-hop yang diramu dengan pantomim khas Prtancis, permainan akrobat sirkus yang mendebarkan, teater, dan alunan musik akordeon yang selalu mengingatkan kita akan sepotong croisant dan menara Eiffel di Paris

Kelompok ini dibentuk bulan Desember 1989 di quatier St-Priest 

Telah berkiprah hingga saat ini dan banyak menghasilkan koregrafi yang bergaya "jalanan"

31 Mei lalu bertempat di Graha Bhakti Budaya, TIM mereka menyuguhkan karya terakhirnya yang bertajuk Petiteshistories.com

Kebetulan saya sempat bertandang untuk meliput dan kemudian berdecak kagum, bukan hanya karena jalinan cerita yang disuguhkan menggelitik dan sarat makna positif, tetapi juga penampilan beberapa penari membuat penonton terpingkal-pingkal

Kendala bahasa tidak menjadi persoalan, dengan bahasa Inggris patah-patah dan lebih banyak bahasa tubuh, penonton yang terdiri dari para expatriat Perancis dan juga penikmat seni tari tanah air seolah-olah larut dan saling mengisi kekosongan

Wednesday, June 17, 2009

Lagu Nasional di Era Mulan Jamilah

SAYA sedang menonton kuis "Siapa Lebih Berani" di suatu pagi, kemudian tersedak kopi yang sedang saya hirup. Setelah itu, dengan tampang yang masih bloon, saya duduk terenyak dan mulai misuh-misuh sendiri. Sedih dan kesal rasanya hati ini melihat para peserta yang kebetulan saat itu semuanya adalah anak-anak, usia SD (mungkin kelas 5 atau 6) yang buta dengan budaya sendiri.

Pertanyaan yang diajukan oleh sang presenter (Helmi Yahya dan Alya Rohali) adalah pertanyaan yang tidak susah. "Sebutkan kalimat terakhir dari lagu Indonesia Raya!". Kelima peserta yang masih imut-imut itu terdiam, saya masih optimis. Yaah, namanya juga lagu Indonesia Raya kan panjaang, ya bok. Saya pun ikut bernyanyi dalam hati. Tiba-tiba salah seorang peserta menjawab, kebetulan saya lupa dia jawab apa, tapi itu sudah pasti bukan lirik lagu Indonesia Raya. Yang membuat saya tersedak adalah, salah satu peserta imut itu ada yang bertanya, "kayak apa sih itu lagu Indonesia Raya?". 

Lho, kamu kok nanya begitu? Bukannya tiap hari senin kamu pake baju putih-putih, buat upacara? Begitu salah satu kalimat misuh-misuh saya. Dulu waktu jaman saya masih imut dan masih punya rambut panjang dan sering di kepang dua, saya selalu ingat, tiap hari senin pagi adalah waktu upacara kenaikan bendera. Biasanya, entah jadi konduktor, atau jadi pembaca pancasila, atau jadi pengibar (bahkan pernah sesekali menjadi pemimpin upacara) pasti saya lakoni. Saya (dan juga teman-teman saya yang lahir di tahun 1987) saat itu hapal dengan semua lagu-lagu nasional. Indonesia Raya sih bukan cuman hapal, malah mendarah daging, walaupun dulu itu masih bego (atau masih bisa di bego-bego-in hehehe). 

Dulu waktu SD, boro-boro ngerti artinya nasionalisme, budaya saja saya nggak tau definisinya. Tapi perihal menghapal lagu-lagu wajib nasional dan lagu daerah boleh diadu dengan anak-anak jaman sekarang. Saya pernah punya buku kumpulan lagu wajib dan daerah. Entah dulu siapa penyusunnya dan siapa penerbitnya. Hanya saja sampai sekarang saya masih ingat, kalau yang lagu wajib sampulnya warna hijau telor asin, dan yang lagu daerah warna pink (masih dijualkah buku itu?)

Anyway, kembali pada peserta kuis "Siapa Lebih Berani". Karena tidak ada satupun yang bisa menjawab, maka pertanyaan tersebut di hangus. Pertanyaan selanjutnya adalah mereka harus menebak judul lagu dan siapa penyanyi yang akan ditayangkan di monitor yang ada dibelakang mereka. "Aku bukaan wonderwomen mu yang bisa...". Bahkan cuplikan video klip itu baru muncul sekitar 5 detik saja, bahkan sang pemandu acara belum sempat menanyakan pertanyaan. Para peserta cilik itu sudah berebutan menekan bell dan serentak menjawab "WONDERWOMAN, MULAN JAMILAH".

Apaah?! Saya kontan sewot melihat adegan itu, dan makin memperpanjang daftar kalimat misuh-misuh saya. Ada apa sih dengan anak SD jaman sekarang? 

Friday, June 5, 2009

Judul Skripsi Saya Sensualitas Jangan di Sentil Lagi

TANPA terasa semester delapan datang juga, dan untuk mendapatkan gelar sarjana dari jurusan mass communication ini suka tidak suka saya harus menyusun sebuah skripsi. Sebelumnya saya sempat diberi wejangan oleh ibunda, tante, kakak, dan para senior serta teman-teman yang sudah pernah merampungkan studi S1-nya . Menurut mereka, “Menyusun skripsi bukan hanya soal teori dan aplikasi pada penelitian, tapi lebih dari itu, kamu harus bertarung dengan banyak hal. Ada saja kendala yang akan menghadang nantinya, tapi kamu pasti bisa dan harus bisa melewati itu”, so sebenernya mereka mau bilang, “semangat yaaa ngerjain skripsinyaaa”. 

ANYWAY, setelah dijalani beberapa bulan terakhir ini, sepertinya menyenangkan mengerjakan skripsi. Mungkin karena saya tau apa yang saya mau. Maksudnya, dari awal perbincangan dengan si dosen pembimbing pun saya sudah jelas-jelas menyatakan, “Pak, saya ini tertarik dengan sesuatu yang berhubungan dengan komunikasi visual, sesuatu yang berbau feature, menyerempet tentang gender (wanita)”. Gayung bersambut, pak dosen pembimbing sepertinya memang memiliki banyak wawasan tentang hal-hal yang menarik perhatian saya. Setelah sekian lama berjibaku mencari referensi, diskusi-diskusi panjang dengan pak dosen pembimbing serta rekan-rekan dan kerabat, akhirnya diputuskan saya akan meneliti tentang pencitraan wanita. 

CITRA SENSUALITAS PEREMPUAN PADA MAJALAH WANITA judul pertama yang saya tulis ketika mengajukan approval judul. Hasilnya? Di tolak mentah-mentah oleh pihak kampus (padahal dosen pembimbing sangat bersemangat dengan judul yang satu ini). Sangat disayangkan karena saya sudah membaca beberapa referensi dan teori-teori yang berhubungan, semiotika misalnya. Namun kata “sensualitas” itu sepertinya diasumsikan sebagai sesuatu yang sangat negatif hingga jika saya yang seorang perempuan juga meneliti topik itu menjadi kurang pantas dan tidak enak untuk dibahas. Begitu kiranya sanggahan dari ibu chief coordinatior thesis defence di kampus saya, tentunya juga diiringi dengan pesan-pesan sponsor dari owner bahwasanya sensualitas janganlah lagi disentil-sentil, kesannya tidak positif. 

BETAPA keukeuh-nya saya dengan sensualitas. Mengapa harus sensualitas? Kenapa di majalah wanita dan bukan majalah pria dewasa. Oke, alasan pertama adalah karena sudah pernah ada yang meneliti citra sensualitas perempuan di majalah pria. Alasan kedua adalah karena memang pada realitanya (realita hasil bentukan media yang bersangkutan) perempuan di gambarkan sebagai sosok yang sensual!. Jika di majalah pria yang memang sengaja mencari gambar-gambar sensual sebagai ajang “cuci mata” sepertinya nalar saya masih bisa menerima. Akan tetapi, apa maksudnya jika majalah wanita sendiri yang belakangan banyak mem-bombardir mind set perempuan tentang kesetaraan gender masih tersebar gambar-gambar sensual? 

I MAY BE NAIF. Tapi terus terang saja, saya sangat penasaran. Saya seseorang yang memiliki tingkat sok tau pada level 8, seringkali secara spontan membuat teori sendiri. Bahwa tidak ada media yang menjalani fungsi utamanya lagi, dan idealisme omong kosong itu tenggelam diantara para kapitalis yang menjadi otak dari semua pemberitaan yang ada. Nah, berbuhubung saya ini sok tau, jadi saya
kepingiiiiin banget sebenarnya meneliti topik ini secara ilmiah. Lengkap dengan teori-teori dan kutipan-kutipan menarik dari berbagai ahli di bidang komunikasi yang menggugah pemikiran (dan pada akhirnya akan merontokkan, membuat bingung dan memanipulasi pikiran beberapa orang hehe :P). 

TAPI yaaah…Citra Kemandirian Perempuan Pada Majalah Wanita tak kalah seru. Hihihi beruntung saya gemar main monopoly waktu kecil dulu, tak ada rotan akar pun jadi. Sensual ga boleh di sentil, mari kita serempetkan saja sekalian kearah yang lebih “positif” dan menjurus hehehe. 

Sunday, May 10, 2009

Minggu Pagi dan Doraemon






Bagi sebagian orang mungkin akhir pekan adalah waktu yang sangat pas untuk bangun siang dan bermalas-malasan di tempat tidur. Well, tidak berlaku bagi saya. I always wake up at 8.00AM, setiap hari minggu, itu adalah jam paling telat saya bangun.

Aneh? Terserah mau dikatakan aneh atau kurang kerjaanm, tapi ini adalah sebuah kebiasaan yang tak belum berubah dari kecil, jam delapan adalah waktunya Doraemon ditayangkan di RCTI. Sepuluh tahun lebih mungkin si Nobita dan kawan-kawannya yang masih saja duduk di kelas lima sd itu, menemani pemirsa anak-anak kecil dari angkatan saya hingga angkatan ponakan-ponakan tercinta yang sudah duduk di bangku kelas 3 sd. 

Setelah itu, tak ketinggalan Crayon Shinchan dan film-film kartun setelahnya yang mulai berkurang karena diganti dengan FTV yang menjamur akhir-akhir ini. Maaf yaa teman2 ku pemain FTV dan sinetron, tapi jujur saja ini membuat sebal! Jatah film-film kartun yang di dubbing dengan bahasa Indonesia itu jadi berkurang.

Kalau sudah begitu yah apa boleh buat ganti ke tv kabel berbayar yang menyuguhkan kartun-kartun ala barat, dengan bahasa inggris yang luchu. Tapi kerinduan akan film-film kartun yang ditayangkan di tv local itu tetap saja tak terobati. Jadi kangen sama Ninja Boy, Mojacko, Chibi Maruko Chan, dr. Slum, Inuyasha, dan lain sebagainya, semua kartun yang di dubbing dengan bahasa Indonesia dengan logat dan karakter suara yang luchuu....kyaa

Friday, May 8, 2009

Another story with Facebook


This below is a true story how technology changed human perspectives

Indonesian being addicted to something! It’s techy, it’s universal and its called facebook.There I go, to the biggest local book store in town (Gramedia-Matraman on Jakarta), desperately looking new manga (Japanese comic that has been translated to Indonesian), look what I found!!! Several, na’ah, I would say its much tutorial for facebook. 

As the Blackberry become the most wanted commodity in Indonesian (Jakarta especially), the need for being member of facebook also becoming a must thing to do. The elder society (this especially refers to my parents and lecturer-generations, which mostly computer illiterate), the one who says that technology is only for youngsters, now compete to be the first who uploaded their pictures, or commented on somebody’s wall. 

You don’t need to spend your time to go to hospital to visit your sick friend. Just browse their page, and commented their status. He or she may write something like, “at hospital, having a week of bed rest”. Simple sentences that mean the one who write it desperately need attention from all friends in the list. Another case is you send a greeting card to a friend who “just married” without attending the wedding party. 
Thanks to technology that closed the distance. The impact is slowly but sure risen up lately. Privacy as the celebrity used to say in infotainment program, is known as a big priced. Imagine a world without privacy! Everybody knows what you do in the past, present and maybe future! 

Autism maybe a popular words to say today. It sounds sarcastic and refers to them who addicted to facebook but did not taking much attention to their surroundings. It’s rude and impolite, but I still do not know how to illustrate laterally on addicted to facebook as well as messenger, online-gaming and so on. 

Welcome to reality : "technology makes the one who is far become closer and makes the close one becoming far"

Schmutzer Primates Centre




Melancong ke Taman Smutzer (gitu bukan ya tulisannya). Sebuah taman primata yang di dedikasikan oleh seorang ibu-ibu bernama Smutzer itu.. disana ada berbagai jenis primata, bekantan, lutung, sampai si gorilaa....

Bersama segelintir advertising 11-2B yang gak ada capeknya jalan kaki nan jauh setelah praktek teknik exposure seharian :D 

Wednesday, April 22, 2009

everything comes for concequences


Yeah i heard this statement often, but then i just nodded and keep silent. Honestly, kalimat ini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan pada hidup gue, hingga hari ini. Akhirnya gue cukup tau apa makna dari kalimat itu, sebuah makna bukan arti. Lebih mendalam karena didasari oleh pengalaman pribadi.

Tidak banyak orang yang mau repot-repot bekerja ketika sedang menyusun skripsi. Terlebih pekerjaan yang dijalani jenisnya full time, dan sebuah profesi yang tidak menjanjikan waktu kerja yang fix. Bahkan dengan jam kerja yang tidak fix itu masih ditambah juga dengan freelance yang cukup menyita waktu seharian penuh. Bayangkan, masa akhir-akhir kuliah yang seharusnya di fokuskan hanya dengan satu tujuan saja, yaitu lulus kuliah, harus dipecah sedemikian rupa sehingga semua dapat berjalan aman terkendali.

Konsekuensinya??? Tentu saja ada....Salah satunya adalah menjadi jauh dengan yang dekat. Yes way! Semua teman-teman dekat, teman cukup dekat apalagi yang tidak pernah dekat bisa saja tersingkir jauh-jauh. Disaat kesibukan dan deadline melanda, para teman-teman ini (yang kesibukannya tak jauh dari mengerjakan skripsi, bolak-balik perpustakaan-rumah-rumah dosen pembimbing-tempat penelitian ini yang seolah-olah "duniaku sibuk sekali tak ada yang lebih sibuk dariku") seakan punya segudang waktu di dunia dan dengan polosnya mengajak untuk bermain-main dan bertemu disaat-saat yang tak mungkin. Saat tak mungkin adalah ketika besok adalah deadline rubrikasi atau tiba-tiba ada revisi dadakan advetorial atau ada liputan yang bener-bener kudu wajib mesti dateng, meeting dan lain sebagainyaa.....

Mereka pikir, "ah you so lame lah, ngapain sih sibuk kerja, lulus aja belom, ribet, menyusahkan diri sendiri, ga asiik"...Well, jeeennnggg...mana ada yang asik kalo kerja, kecuali ga kerja dan rekening tiap bulan ngaleer teruusss. Herannya, biasanya orang-orang yang termasuk jenis belum-lulus-kuliah-tapi-sudah-kerja-full-time ini jarang banget berkoar-koar dengan kesibukannya. Lebih banyak diem, senyum-senyum dikulum, yang entah mungkin di dalam hatinya agak tersayat-sayat sedikit. Tersayat karena well, sebenernya kepingin juga sih ikutan nongkrong-nongkrong bareng temen-temen disaat-saat tertentu, tapi yaa gimana...duty call.Tersayat juga karena sebenernya pingin banget teriak ke orang-orang yang mencibir dan ga pernah mau ngertiin kondisi yang ada, "HEEEE PLIS DEH, SHUT UR MOUTH AJAAA..."

Kamu ga akan bisa jadi orang lain, jadi kalo ada orang lain yang agak nyleneh dan ga biasa yaudah diemin ajaaa...sepanjang itu ga merugikan ngapain sih diurusin...

A Dream is a Wish Your Heart Makes by Cinderella

Friday, March 20, 2009

First Post To This Blogsite

Hei there! Since this is my first time writing in this blog, I would like to say thanks for visiting this blog entry....