Pages

Sunday, June 28, 2009

Sarjana Palsu

Saya sedang menyusun skripsi. Dalam beberapa bulan kedepan, saya akan maju untuk sidang skripsi dan kemudian selesailah pertarungan di tingkat strata satu ini. Pertarungan yang belum pasti hasilnya menang atau kalah, tapi saya selalu optimis saya adalah pemenang. The winner takes it all: ijazah, tanda tangan dari dosen pembimbing, wisuda dan kebahagian yang tak terperi. 

Detik-detik menjelang pertarungan akhir ini, saya jadi merasa terbebani. Mungkin cuma saya sih yang merasa, teman-teman seperjuangan saya toh tak begitu peduli. Jika lulus nanti saya akan menjadi sarjana di bidang komunikasi. Which is means, kalo semisal saya bertandang ke rumah nenek saya di kampung, dan si nenek dengan bangga bercerita dengan sohib-sohibnya, saya akan mendengar pernyataan yang kira-kira begini bunyinya, ”Waah ndhuk, sokoor-sokooor...wis dadi sarjana komunikasi. Komunikasi-nya mesti jago banget yaa...” 

Well, bilang saya lebay, memang banyak yang suka bilang saya begitu. Tapi imajinasi saya ini mungkin saja terjadi. Mungkin dengan konteks yang berbeda. Intinya adalah saya selalu merasa orang lain mengharapkan lebih dari seorang sarjana. 

Misalnya saya, selalu menganggap kakak saya yang sarjana sistem informatika adalah perempuan yang techie dan kakak laki-laki saya yang gelar sarjananya di bidang administrasi negara adalah seorang yang penuh birokrasi. Ini yang menjadi beban. Ibarat seorang penyanyi dangdut yang sedang sakit flu tulang, tidak bisa bernyanyi dan bergoyang dengan aduhai bagi penggemar setianya.

Khawatir ketika nanti saya di tanya apa artinya ”wagu” dan mengapa koran Kompas menggunakan istilah itu di artikelnya saya tidak mengerti jawabannya. 

Kata itu saya temukan ketika membaca artikel tentang Lady Gaga di Kompas hari minggu. Judul lagunya Sexy Uggly, di artikan menjadi ”sexy wagu”. Kata yang belum pernah saya baca dan dengar sebelumnya, bahkan saya tidak tahu kalau itu ada di kamus bahasa Indonesia. 

Belum lagi kata yang spelling nya susah dan melafalkannya bisa membuat lidah agak-agak pegal. Seperti kata ”mengejewantahkan”. Nah lho! Saya khawatir akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dimana kebanyakan sarjana komunikasi yang tidak kompeten di bidangnya. Tadi contoh pertanyaan yang saya ajukan mungkin kesannya intelek. Paling parah adalah pengalaman saya ketika menyapa seorang senior yang sudah menjadi sarjana komunikasi dan bertanya yang hal dasar, ”sebenarnya apa sih komunikasi itu?” dan jawabnya hanya sederhana, ”yaa..elu ngomong itulah komunikasi, gitu deh, gitu aja pake nanya”

Dasar sarjana palsu! 

No comments:

Post a Comment